Preeklamsia
Preeklamsia, Kenali Tanda dan Cara Mencegahnya!
Dr. Bayu Aji Nugroho, SpOG
Sekitar delapan juta perempuan per tahunnya mengalami komplikasi kehamilan dan lebih dari setengah juta diantaranya meninggal dunia. Angka Kematian Ibu di Indonesia masih merupakan salah satu yang tertinggi di negara Asia Tenggara. Menurut data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2021, terdapat 359 kematian ibu hamil per 100.000 kelahiran hidup. Tiga penyebab utama kematian tersebut adalah perdarahan, hipertensi/tekanan darah tinggi dalam kehamilan dan infeksi.
Preeklamsia adalah kondisi peningkatan tekanan darah disertai dengan adanya gangguan organ pada usia kehamilan lebih dari 20 minggu.
Preeklamsia dapat muncul dengan gejala maupun tanpa gejala. Tekanan darah tinggi biasanya tidak segera menimbulkan keluhan, sehingga ibu hamil biasanya tidak mengetahuinya hingga ia memeriksakan dirinya dalam kontrol rutin antenatal care baik ke bidan maupun ke dokter. Beberapa gejala dan tanda yang dapat muncul pada ibu hamil dengan preeklamsia, antara lain:
Nyeri kepala.
Gangguan penglihatan (menjadi buram).
Nyeri perut kanan atas/ulu hati
Mual dan muntah.
Produksi urin menurun.
Penurunan jumlah trombosit pada pemeriksaan darah.
Gangguan fungsi hepar.
Sesak napas.
Bengkak pada kaki, tangan, dan wajah.
Penegakan diagnosis preeklamsia oleh dokter apabila pada ibu terdapat:
Tekanan darah ≥ 140/90 mmHg
Pemeriksaan laboratorium: Kandungan urin dalam protein >300mg/24 jam atau tes urin dipstik > positif 1
Apabila tidak ditemukan kandungan protein dalam urin, salah satu tanda dibawah ini dapat digunakan untuk menegakkan dianosis preeklamsia:
Jumlah keping darah/trombosit yang rendah (<100.000/mikroliter)
Gangguan ginjal
Gangguan fungsi hati
Paru
Gangguan saraf: ditandai dengan stroke, nyeri kepala, gangguan penglihatan
Gangguan pertumbuhan janin
Faktor risiko terjadinya preeklamsia pada ibu hamil:
Usia > 40 tahun.
Hipertensi kronik (riwayat tekanan darah tinggi sebelum usia 20 minggu kehamilan).
Riwayat preeklamsia pada kehamilan sebelumnya.
Kehamilan pertama.
Kehamilan pertama oleh pasangan baru
Obesitas.
Kehamilan ganda/lebih.
Jarak yang terlalu lama dari kehamilan sebelumnya (>10 tahun).
Memiliki kondisi medis tertentu, seperti diabetes tipe 2, penyakit ginjal, atau lupus.
Kehamilan yang terjadi dengan bantuan (inseminasi atau bayi tabung).
Pencegahan preeklamsia masih sulit dilakukan. Studi menyatakan bahwa dengan modifikasi dari gaya hidup seperti restriksi kalori, membatasi asupan garam, mengonsumsi bawang putih, serta mengonsumsi vitamin C dan E, tidak menunjukkan adanya pengaruh yang bermakna dalam upaya pencegahan preeklamsia ini. Pada beberapa kasus, ibu hamil dapat menurunkan risiko mengalami preeklamsia dengan cara mengonsumsi obat aspirin dosis rendah dan suplemen kalsium, tentu saja setelah berkonsultasi dengan dokter.
Untuk mencegah komplikasi dan berkembang menjadi eklamsia yang mengancam jiwa ibu dan janin, preeklamsia harus diberikan penanganan segera. Penanganan preeklamsia yang paling efektif adalah dengan melahirkan janin yang berada di dalam kandungan. Sebelum proses kelahiran, biasanya ibu akan diberikan beberapa obat-obatan yaitu:
Obat penurun tekanan darah.
Obat penambah hormon steroid untuk membantu proses pematangan paru pada bayi.
Obat anti-kejang
Daftar Pustaka:
Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia Himpunan Kedokteran Feto Maternal . 2016. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran: Diagnosis dan Tatalaksana Preeklamsia.
Rachel, F. et al. 2019. Preeclampsia: Risk Factors, Diagnosis, Management, and the Cardiovascular Impact on the Offspring. Journal of Clinical Medicine MDPI [Internet]. MDPI Publishing: 2019 Oct. Available From: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6832549/